Agustus 2012

MUSIM BUNGA 

Marilah, sayang, mari berjalan menjelajahi perbukitan, Salju telah cair dan Kehidupan telah terjaga dari lenanya dan kini mengembara menyusuri pegunungan dan lembah-lembah, mari kita ikut jejak-jejak Musim Bunga, yang melangkaui Ladang-ladang jauh, dan mendaki puncak-puncak perbukitan tuk menadah ilham dari aras ketinggian, di atas hamparan ngarai nan sejuk kehijauan. 
 
Fajar Musim Bunga telah mengeluarkan pakaiannya dari lipatan simpanan, dan menyangkutnya pada pohon pic dan sitrus , dan mereka kelihatan bagai pengantin dalam upacara tradisi Malam Kedre.. 
 
Sulur-sulur daun anggur saling berpelukan bagai kekasih Air kali pun lincah berlompatan menari ria, di sela-sela batuan, menyanyikan lagu riang. 
 
Dan bunga-bunga bermekaran dari jantung alam, Laksana buih-buih bersemburan, dari kalbu lautan 
 
Kemarilah, sayang: mari meneguk sisa air mata musim dingin, dari gelas kelopak bunga lili, dan menenangkan jiwa, dengan gerimis nada-nada curahan simfoni burung-burung yang berkicauan dan berkelana riang dalam bayu mengasyikkan 
 
Mari duduk di batu besar itu, tempat bunga violet berteduh dalam persembunyian, dan meniru Kemanisan mereka dalam pertukaran kasih rindu. 
 
MUSIM PANAS 
 
Mari pergi ke ladang, kekasihku, karena Musim menuai telah tiba, dan cahaya surya
Telah memanggang gandum kuning-kekuningan. 
 
Mari kita mengerjakan hasil bumi, sebagaimana semangat kegembiraan menyuburkan butir gandum dari benih cinta-kasih, yang tertanam dalam sanubari. Mari mengisi guni kita dengan limpahan hasil bumi bagai kehidupan mengisi penuh rongga hati, dengan harta kekayaan tak terperi, mari, jadikan bunga-bunga alas tilam kita dan langit biru selimut kita sandarkan kepala di bantal harum jerami, mari kita berehat setelah bekerja sepanjang hari, sambil mendengar bisik gemercik air sungai yang menyanyi. 
 
MUSIM GUGUR 
 
kita pergi memetik anggur di perkebunan dan memerah sari buah segar dan menyimpannya di jambangan tua sebagaimana jiwa menyimpan ilmu pengetahuan Abad-abad lalu, dalam gedung keabadian. 
 
Dan sekarang mari pulang, kerna sang bayu telah menerbangkan daun-daun kuning dan mengisar bunga-bunga layu yang membisikkan dendang kematian pada Musim Gugur mari pulang, kekasihku abadi, karena burung-burung telah terbang bagi perjalanan migrasi menuju kehangatan meninggalkan padang yang dingin dan kesepian. Bunga mirtel dan melati pun telah lama mengeringkan air matanya. 
 
Mari kembali, sebab anak sungai yang sayu telah kehabisan lagu, dan sumber air yang lincah telah membisu, enggan mengucapkan kata perpisahan. Sedang bukit-bukit tua telah mulai melipat pakaiannya yang berwarna-warni. 
 
Mari, kekasihku; Alam telah letih, Ia bersemangat melambaikan selamat tinggal dengan dendangan sayup dan ketenangan. 
 
MUSIM DINGIN 
 
Dekatlah ke mari,oh teman sepanjang hidupku, dekatlah padaku, dan jangan biarkan sentuhan Musim Dingin, mencelah di antara kita. Duduklah disampingku di depan tungku, sebab nyalaan api adalah satu-satunya nyawa musim ini. 
 
Bicaralah padaku tentang kekayaan hatimu, yang jauh lebih besar daripada unsur Alam yang menggelodak di luar pintu. Palanglah pintu dan patri engselnya, sebab wajah angkasa menekan semangatku dan pemandangan ladang-ladang salju menimbulkan tangis dalam jiwaku. 
 
Tuangkan minyak ke dalam lampu, jangan biarkan ia pudar, letakkan dekat wajahmu, supaya aku boleh membaca dalam tangis apa yang telah ditulis pada wajahmu tentang kehidupan kau bersamaku.. 
 
Berilah aku anggur Musim Gugur, dan mari minum bersama sambil mendendangkan lagu kenangan pada ghairah Musim Bunga dan layanan hangat Musim Panas, serta anugerah tuaian dari Musim Gugur. 
 
Dekatlah padaku, oh kekasih jiwaku; api mendingin dalam tungku, menyelinap padam nyalanya satu-satu, dari timbunan abu dakaplah aku, sebab aku ngeri akan kesepian. Lampu meredup, dan anggur minuman membuat mata sayu mengatup. Mari kita saling berpandangan, sebelum mata tertutup. 
 
Cari aku dengan rabaan, temui daku dalam pelukan lalu biarkan kabus malam merangkul jiwa kita menjadi satu Kucuplah aku, kekasihku, karena Musim Dingin, telah merenggut segala, kecuali bibir yang berkata: Engkau dalam dakapan, oh Kekasihku Abadi, Betapa dalam dan kuat samudera sana, Dan betapa cepatnya subuh...

Keindahan menjadi milik usia muda, tapi keremajaan yang untuknya dunia ini diciptakan tidak lebih dari sekadar mimpi yang manisnya diperhamba oleh kebutaan yang menghilangkan kesedaran.
 
Akankah hari itu datang, ketika orang-orang bijak menyatukan kemanisan masa muda dan kenikmatan pengetahuan? Sebab masing-masing hanyalah kosong bila hanya sendirian.
 
Akankah hari itu datang ketika alam menjadi guru yang mengajar manusia, dan kemanusiaan menjadi buku bacaan. Sedangkan kehidupan adalah sekolah sehari-hari?
 
Hasrat masa muda akan kesenangan-kenikmatan tidak terlalu menuntut tanggung jawab -hanya akan terpenuhi bila fajar telah menyelak kegelapan hari.
 
Banyak lelaki yang tenggelam dalam keasyikan hari-hari masa muda yang mati dan beku; banyak perempuan yang menyesali dan mengutuk tahun-tahun tak berguna mereka seperti raungan singa betina yang kehilangan anak;
 
Dan banyak para pemuda dan pemudi yang menggunakan hati mereka sekadar sebagai alat penggali kenangan pahit masa depan, melukai diri melalui kebodohan dengan anak panah yang tajam dan beracun kerana kehilangan kebahagiaan.
 
Usia tua adalah permukaan kulit bumi; ia harus, melalui cahaya dan kebenaran, memberikan kehangatan bagi benih-benih masa muda yang ada dibawahnya, melindungi dan memenuhi keperluan mereka hingga Nisan datang dan menyempurnakan kehidupan masa muda yang sedang tumbuh dengan kebangkitan baru 
 
Kita berjalan terlalu lambat ke arah kebangkitan spiritual, dan perjalanan itu seluas angkasa tanpa batas, sebagai pemahaman keindahan kewujudan melalui rasa kasih dan cinta kepada keindahan tersebut .

-: Khalil Gibran :

Kehidupan merupakan sebuah pulau di lautan kesepian, dan bagi pulau itu bukti karang yang timbul merupakan harapan, pohon merupakan impian, bunga merupakan keheningan perasaan, dan sungai merupakan damba kehausan.
 
Hidupmu, wahai saudara-saudaraku, laksana pulau yang terpisah dari pulau dan daerah lain. Entah berapa banyak kapal yang bertolak dari pantaimu menuju wilayah lain, entah berapa banyak armada yang berlabuh di pesisirmu, namun engkau tetap pulau yang sunyi, menderita kerana pedihnya sepi dan dambaan terhadap kebahagiaan. Engkau tak dikenal oleh sesama insan, lagi pula terpencil dari keakraban dan perhatian. 
 
Saudaraku, kulihat engkau duduk di atas bukit emas serta menikmati kekayaanmu -bangga akan hartamu, dan yakin bahawa setiap genggam emas yang kau kumpulkan merupakan mata rantai yang menghubungkan hasrat dan fikiran orang lain dengan dirimu.
 
Di mata hatiku engkau kelihatan bagaikan panglima besar yang memimpin bala tentara, hendak menggempur benteng musuh. Tapi setelah kuamati lagi, yang nampak hanya hati hampa belaka, yang tertempel di balik longgok emasmu, bagaikan seekor burung kehausan dalam sangkar emas dengan wadah air yang kosong.
 
Kulihat engkau, saudaraku, duduk di atas singgahsana agung; di sekelilingmu berdiri rakyatmu yang memuji-muji keagunganmu, menyanyikan lagu penghormatan bagi karyamu yang mengagumkan, memuji kebijaksanaanmu, memandangmu seakan-akan nabi yang mulia, bahkan jiwa mereka melambung kesukaan sampai ke langit-langit angkasa.
 
Dan ketika engkau memandang kelilingmu, terlukislah pada wajahmu kebahagiaan, kekuasaan, dan kejayaan, seakan-akan engkau adalah nyawa bagi raga mereka.
 
Tapi bila kupandang lagi, kelihatan engkau seorang diri dalam kesepian, berdiri di samping singgahsanamu, menadahkan tangan ke segala arah, seakan-akan memohon belas kasihan dan pertolongan dari roh-roh yang tak nampak -mengemis perlindungan, kerana tersisih dari persahabatan dan kehangatan persaudaraan.
 
Kulihat dirimu, saudaraku, yang sedang mabuk asmara pada wanita jelita, menyerahkan hatimu pada paras kecantikannya. Ketika kulihat ia memandangmu dengan kelembutan dan kasih keibuan, aku berkata dalam hati, "Terpujilah Cinta yang mampu mengisi kesepian pria ini dan mengakrabkan hatinya dengan hati manusia lain."
 
Namun, bilamana kuamati lagi, di sebalik hatimu yang bersalut cinta terdapat hati lain yang kesunyian, meratap hendak menyatakan cintanya pada wanita; dan di sebalik jiwamu yang sarat cinta, terdapat jiwa lain yang hampa, bagaikan awan yang mengembara, menjadi titik-titik air mata kekasihmu... 
 
Hidupmu, wahai saudaraku, merupakan tempat tinggal sunyi yang terpisah dari wilayah penempatan orang lain, bagaikan ruang tengah rumah yang tertutup dari pandangan mata tetangga. Seandainya rumahmu tersalut oleh kegelapan, sinar lampu tetanggamu tak dapat masuk meneranginya. Jika kosong dari persediaan kemarau, isi gudang tetanggamu tak dapat mengisinya. Jika rumahmu berdiri di atas gurun, engkau tak dapat memindahkannya ke halaman orang lain, yang telah diolah dan ditanami oleh tangan orang lain. Jika rumahmu berdiri di atas puncak gunung, engkau tak dapat memindahkannya atas lembah, kerana lerengnya tak dapat ditempuh oleh kaki manusia.
 
Kehidupanmu, saudaraku, dibaluti oleh kesunyian, dan jika bukan kerana kesepian dan kesunyian itu, engkau bukanlah engkau, dan aku bukanlah aku. Jika bukan kerana kesepian dan kesunyian itu, aku akan percaya kiranya aku memandang wajahmu, itulah wajahku sendiri yang sedang memandang cermin.
(Dari 'Suara Sang Guru')

-: Khalil Gibran :

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta. 

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata: 
 
Apabila cinta menyertaimu, ikutlah ia walaupun jalan-jalannya sukar dan curam apabila ia mengepakkan sayapnya, engkau serahkanlah dirimu kepadanya walaupun pedang yang tersisip pada sayapnya akan melukakan kamu. 
 
Apabila ia berkata-kata engkau percayalah kepadanya walaupun suaranya akan menghancurkan mimpimu seperti angin utara yang memusnahkan taman-taman karena sekalipun cinta memahkotakan kamu ia juga akan mengorbankan kamu walaupun ia menyuburkan dahan-dahanmu ia juga mematahkan ranting-rantingmu walaupun ia memanjat dahanmu yang tinggi

dan mengusap ranting-rantingmu yang gementar dalam remang cahaya matahari
ia juga turun ke akar-akarmu dan menggoncangkannya dari perut bumi 
 
Seperti seberkas jagung ia akan mengumpulmu untuk dirinya membantingkanmu sehingga engkau telanjang mengoyakkanmu sehingga terpisah kamu dari kulitmu mengisarkanmu sehingga engkau menjadi putih bersih mengulimu agar kamu mudah dibentuk dan selepas itu membakarmu di atas bara api agar kamu menjadi sebuku roti yang diberkati untuk hidangan kenduri Tuhanmu yang suci 
 
Semua ini akan cinta lakukan kepadamu supaya engkau memahami rahasia hatinya dan dengan itu menjadi wangi-wangian kehidupan tetapi seandainya di dalam ketakutanmu engkau hanya mencari kedamaian dan nikmat cinta maka lebih baiklah engkau membalut dirimu yang telanjang itu dan beredarlah dari laman cinta yang penuh gelora ke dunia gersang yang tidak bermusimdi sana engkau akan ketawa tetapi bukan tawamu dan engkau akan menangis tetapi bukan dengan air matamu 
 
Cinta tidak memberikan apa-apa melainkan dirinya dan tidak mengambil apa-apa melainkan daripada dirinya cinta tidak mengawal sesiapa dan cinta tidak boleh dikawal sesiapa karena cinta lengkap dengan sendirinya
Dan apabila engkau bercinta engkau tidak seharusnya berkata "kejadian adalah hatiku," sebaliknya berkatalah: "aku adalah kejadian" 
 
Dan janganlah engkau berpikir engkau boleh menentukan arus cinta karena seandainya cinta memberkatimu ia akan menentukan arah perjalananmu 
 
Cinta tiada nafsu melainkan dirinya tetapi seandainya kamu bercinta dan ada nafsu pada cintamu itu maka biarlah yang berikut ini menjadi nafsumu; menjadi air batu yang cair membentuk anak-anak sungai yang menyanyikan melodi cinta pada malam yang gelap gelita untuk mengenal betapa pedihnya kemesraan untuk merasa luka karena engkau kini mengenali cinta dan rela serta gembira melihat darah dari lukanya untuk bangun pada waktu fajar dengan hati yang lega dan bersyukur untuk satu hari lagi yang terisi cinta untuk beristirahat ketika matahari remang untuk mengingati kemanisan cinta yang tidak terberi untuk kembali ke rumahmu ketika air mati dengan rasa kesyukuran di dalam hati dan dalam tidurmu berdoalah untuk kekasihmu yang bersemadi di dalam hatimu dengan lagu kesyukuran pada bibirmu

-.:Khalil Gibran:.

Seandainya pohon bisa memberontak dan bicara tentunya ia bakal menjerit ketika ditebang, seadainya satwa liar itu bisa bicara tentunya ia bakal menyelamatkan hidupnya, namun kita sebagai manusia punya mulut, hati, telinga, otak malah diam saja melihat, mendengar jeritan-jeritan alam yang rusak ditangan kerakusan spesies manusia seperti kita ini. Apakah kita bangga dengan kekuasaan kita sendiri sementara kita telah melakukan bunuh diri secara perlahan bersama-sama oleh perbuatan kita sendiri.

Sebelum kita membahas pecinta alam dan kegiatannya mari kita pahami betul apa epistemologi dari “Pencinta Alam”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Cinta mempunyai empat makna, yakni, [1] ‘suka sekali’ ; ‘sayang benar’ ; [2] ‘kasih sekali’ ; terpikat’ ; terpikat ; [3] ‘ingin sekali’ ; berharap sekali ; ‘rindu’ ; dan [4] ‘susah hati ; risau’ (1993 -190). Yang artinya pencinta diberi makna ‘orang yang suka akan’ (h191). Selain itu kata alam yang diserap dari bahasa Arab, di Indonesia berkembang sehingga mempunyai tujuh makna. Ketujuh makna itu ialah [1] ‘segala ada yang dilangit dan dibumi’ ; [2] ‘lingkungan dan kehidupan’ ; [3] ‘segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan dan dianggap satu lingkungan dan dianggap sebagai satu keutuhan’ [4] ‘segala daya yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini [5] ‘yang bukan buatan manusia’ ; [6] ‘dunia’ ; dan [7] ‘kerajaan ; daerah ; negeri ‘ (h.22). Kalau kedua kata tersebut digabung maka arti dari pencinta alam adalah ‘orang yang sangat suka akan alam’.
Namun tidak disaat ini, pencinta alam yang sebenarnya hanya pantas ditunjukan pada masyarakat asli hutan, organisasi non pemerintah yang peduli terhadap lingkungan dan alam, individu yang peduli dengan lingkungan hidup lewat kemampuan yang dia bisa, seperti menanam pohon, membuang sampah tidak sembarangan, tidak memelihara satwa liar yang dilindungi UU, tidak menebang pohon ditaman nasional dan disekitar hutan lainnya, naik sepeda, menulis tentang lingkungan, membuat film tentang hutan dan kelestariannya, dan masih banyak lagi bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Makna ‘orang yang suka akan alam’ berarti manusia yang peduli dengan alam dan menjaga kelestariannya. Dengan menjaga kelesatariannya berarti ia membela nasib hutan dan satwa liar yang sedang mengalami kepunahan bukan berpetualang menantang andrenallin naik gunung, memanjat tebing, atau membuka jalur untuk latihan atau dengan bangga bisa menaklukan alam.

Sejarah memang harus dipelajari tentang pendirian pencinta alam yang motori almarhum Soe Hok Gie, Herman Lantang dan kawan-kawan. Di era 60-an memang terjadi pergolakan masa transisi kemerdekaan. Invansi politik praktis diluar kampus Universitas Indonesia lewat organisasi dan kesatuan aksi mahasiswa dari berbagai atribut dan ideologinya berusaha memasuki Universitas. Namun, Almarhum Soe dan rekan-rekannya tidak peduli dan menjadi kelompok yang tidak memihak dengan kemelut politik saat itu. Mereka lari ke gunung dan pergi ke tempat-tempat sepi terpencil. Kalau penulis menyimpulkan contemplasi ala raja-raja Jawa seperti pendeta-pendeta hinduisme. Mereka paham waktu itu posisi benar-benar terjepit. Kebersamaan dan pengalaman itulah lahir istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Di Tahun 1971 nama Prajnaparamita dilepas diganti dengan Mapala UI. Alhasil bangsa yang euforia ini bermunculan organisasi pencinta alam baik dari kampus dan diluar kampus.

Kegiatan mereka hanya berlarian ke gunung, ke goa, ke tebing hanya untuk menikmati alam. Jaman abad ini sudah berubah namun masih ada saja organisasi pencinta alam baik dari kampus dan masyarakat yang bergiat untuk naik gunung, ke goa, arung jeram, ke tebing atau pendidikan seperti gaya militer, menggampar seenaknya calon peserta dengan alasan biar berdisiplin seperti militer. Padahal pendidikan ala militer dewasa ini dengan kekerasan sudah mulai dikurangi.

Pernah penulis mendengar cerita dari aktivis lingkungan dari negeri yang hutannya sudah hilang bahwa seandainya gunung itu dipenuhi sampah dan hutannya gundul, iklimnya panas, sungai dipenuhi limbah pabrik, tebing karst di bom dan batunya diambil untuk bahan lantai, meja, dan satwa liar yang eksotik punah seperti Harimau Jawa, Jalak Bali. Apakah organisasi pencinta alam baik itu dikampus maupun diluar kampus diam saja melihat itu semua.

Memang hutan Indonesia belum parah meski terlihat parah atau sungai-sungai masih belum tercemar hingga bisnis olah raga arus deras pun menjamur atau gunung masih ada tempat menarik meski jauh paling atas, goa-goa masih banyak yang bagus, tebing-tebing masih menjulang tinggi toh mereka hanya santai-santai saja atau tidak perduli sama sekali lebih mementingkan event-event kejuaraan atau pelatihan-pelatihan yang tidak ada hubungannya dengan makna dari pencinta alam. Sangat tragis benar.

Apa ada yang salah dari Almarhum Soe Hok Gie dan kawan-kawan lamanya hingga penerusnya hanya mementingkan kepuasaan sesaat atau kode etik pencinta alam Se-Indonesia yang syahkan bersama dalam gladian ke-4 yang setiap kegiatan wajib dibacakan setiap kegiatan seperti maksud dari pesannya Pencinta Alam Indonesia adalah sebagai dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kami kepada Tuhan, Bangsa dan Tanah Air. Dengan kesadarannya mereka (Pencinta Alam) menyatakan pada poin 2 yang isinya memelihara alam beserta isinya menjadi ucapan atau janji tanpa makna (Lip Service).

Namun hasilnya pun hutan tetap gundul, satwa liar makin lama makin punah, bencana lingkungan mulai bermunculan, bahkan pemanasan global yang dibicarakan setiap negara dan para aktifis lingkungan dari LSM dengan gencarnya mencari solusi. Sedangkan organisasi yang namanya Pencinta Alam belum menunjukan taringnya untuk peduli terhadap lingkungan. Bahkan hanya bisa dihitung oleh jari organisasi pencinta alam yang peduli terhadap lingkungan. Atau menurut saran respon dari pembaca tulisan Quo Vadis Pecinta Alam yang ditulis penulis mending diganti saja nama pencinta alam dengan nama jenis petualang. Biar tidak terjadi pembiasan makna dari kata Pencinta Alam.

Alhasil, makin sepinya minat pemuda sekarang untuk masuk organisasi pencinta alam. Tradisi lama masih dipakai tidak ada formulasi-formulasi baru untuk merefleksikan kegiatan-kegiatannya. Atau organisasi pencinta alam dewasa ini telah bangga dengan “establishment” (kemapanan). Kebiasaan-kebiasaan lama yang harus ditinggalkan malah terus diulang-ulang saja seperti pendidikan dengan kekerasan atau perbedaan yang antara senior dan yunior, pendendaman akibat dari pendidikan yang keras, menebang pohon untuk simulasi SAR, atau pembukaan jalur. Meski kecil namun tetap saja kita memberikan pendidikan yang tidak baik terhadap masyarakat sekitar gunung atau hutan.

Pernah penulis ditanya saat masuk organisasi mahasiswa pencinta alam waktu masih kuliah dulu oleh senior, apa tujuan anda masuk pencinta alam? Penulis menjawab ingin mengenal alam lebih dekat. Namun, ketika pendidikan tidak dikenalkan dengan alam malah disiksa di bentak meski tidak ada kekerasan fisik, membuka jalur hutan dengan parang seperti kesatria.


Ironisnya, bencana-bencana alam tidak separah di jaman itu. Namun saat ini kita mendengar dan merasakan dampak dari penyakit lingkungan seperti pemanasan global, banjir, longsor, tsunami, belum lagi penyakit-penyakit aneh lainnya. Apa kita sebagai pencinta alam terus merenung naik gunung?Apa kita sebagai pencinta alam masih saja manjat memenuhi kepuasaan jiwa? Apa kita sebagai pencinta alam terus menelusuri goa?Apa kita sebagai pencinta alam terus pergi keriam berarung jeram melintasi sungai?Apa kita sebagai pencinta alam bangga dengan ucapan sebagai penikmat alam? Waktunya kita bergabung dan belajar dari organisasi-organisasi non pemerintah, masyarakat dengan kearifan tradisional sekitar hutan yang peduli terhadap lingkungan untuk melakukan sinergi bersama mencari solusi tentang kerusakan alam. Ini tugas semua pencinta alam Indonesia di abad 21 ini. Waktunya meninggalkan dunia petualang. Take Action Now!

Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang Persahabatan.
 
Dan dia menjawab: 
 
Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian.
Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan kata "Tidak" di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata "Ya".
 
Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.
 
Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;
 
Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.
Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.
 
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
 
Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..
Kerana dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.

-: Khalil Gibran :

Untuk kesekian kalinya, jantungku kembali berdegup tak menentu
Rasa kecewa, marah, sedih dan nelangsameradang dalam benakku
Sesak dada ini seketika menahan ledakan yang tak kunjung terluapkan
Dan seperti biasa... akhirnya semua rasa ini harus kutelan sendiri

Sahabat… dimanakah gerangan kalian berada?
Saat seperti ini aku sangat rindu untuk berbagi cerita
Bukankah dulu kalian selalu lapang menampung segala kisahku
Mengapa kini kalian seakan sembunyi dibalik lajunya sang waktu

Ingin rasanya aku membantah semua praduga yang menghimpit logika
Dan menyangkal kemungkinan pahit yang mengintai garis hidupku
Satu yang pasti, sejak dulu setiap dari kita memiliki gaya yg berbeda
Tapi apakah visi dan misi hidup kita juga, sekarang sudah tidak sama?


Sahabat… demikian hebatnya rinduku pada kebersamaan kita dulu
Kalian selalu mampu mendengarkan lagu didalam hatiku
Dan selalu menyanyikan kembali tatkala aku lupa akan bait-baitnya
Sejujurnya… aku tak pernah siap kehilangan sosok seperti kalian


* Sahabat sejati, tangan Tuhan yang menjaga kita dari segala kealfaan diri *

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.